Minggu, 24 April 2011

Lembaran Kisah Rani

Tiin…tiiin..! bunyi klakson dari motor Tika terdengar jelas ditelingaku sekaligus membuyarkan lamunanku. Aku pun langusng bergegas keluar dari kamar dan menghampiri Tika di depan gerbang. Dari setengah jam yang lalu Tika memang sudah menungguku di gerbang depan rumah dengan skuter maticnya karena hari ini kami berdua memang sudah janjian untuk pergi ke SMP kami dulu. Ingin mengenang masa-masa SMP dulu, hehe. “lama amati sih? Udah siang tau!” protes Tika.
      “sabar dong bu! Namanya juga cewek pasti dandannya lama.”sahutku sambil menaiki jok belakang motor Tika. Kemudian kami pun berangkat menuju SMP kami yang tidak jauh dari rumah ku. 3 tahun yang lalu aku dan Tika memang satu SMP yaitu di SMPN 26 JAKARTA. Kami juga satu kelas waktu kelas 1 SMP. Tapi sayangya sekarang kami tidak satu sekolah lagi karena orangtua kami mendaftarkan kami di sekolah yang berbeda.
                  “Ran, tadi kok lo lama banget sih dandannya? Ngapain aja sih lo? Setau gue lo ga suka dandan lama-lama deh.” Tanya Tika ketika kami sedang dalam perjalanan
      “hehe..tadi gue pagi mikirin kira-kira file itu masih ada ga ya di ruang BK?” sahutku
      “ya ampun ran! Masih aja nyariin tuh file. Emang penting apa?” Tanya Tika lagi sambil sekali-sekali melihat wajahku dari spion motornya
      “bagi gue itu penting banget Tik. Karena semua tulisan yang gue buat di file itu memang benar-benar tulisan rancangan tentang masa depan gue.” Sahutku
     “masa depan apa sih Ran? Emang lo masih berharap kalau cita-cita lo itu masih bisa lo kejar? Kan bokap nyokab lo udah nggak nge-restuin.” Tukas Tika
      “iya gue tau. Tapi gue pengen aja ngeliat tulisan yang dibuat sama anak SMP yang merasa yakin banget kalau apa yang dia tulis di file itu pasti semuanya akan terkabul.” Sahutku dengan nada menyindir.
      “ya..terserah lo deh! Tapi emang bener ya semua cita-cita yang tulis di file itu semuanya tercapai?” Tanya Tika lagi
     “hampir semuanya tercapai! Pertama gue nulis di file itu kalo pada tahun 2009 gue harus naik kelas dengan nilai yang baik dan bisa masuk Pb. Tangkas. Eh, nggak taunya pas kenaikan kelas gue


dapet ranking 3 di kelas dan gue masuk seleksi Pb. Tangkas. Hebat kan?”
      “iya gue tau. Dan itu semua lo bisa raih karea kerja keras lo juga kan?” Tanya Tika masih sambil berkonsentrasi mengendarai motornya
      “pastilah! Pokoknya yang gue tulis di file itu pasti hal yang sangat gue yakinin, Tik. Makannya dulu gue seneng banget kalau Bu Pipit lagi ngajar BK. Karena kalo Bu Pipit ngajar dia pasti akan menambah semangat gue buat ngejar cita-cita gue!” sahutku dengan antusias, dan di depan aku sudah melihat gedung SMPN 26 yang mulai agak sedikit berubah.
      “yaudahlah! Nanti ceritanya kita lanjutin lagi. Udah mau sampe nih!” sahut Tika ketika kamu sudah berada di depan gerbang SMPN 26.
                  Aku pun turun dari jok motor Tika dan menunggu Tika memarkir motornya. Setelah Tika selesai memarkir motornya dia berkata “gila ya! Baru berapa bulan nih sekolahan kita tinggal, eh catnya udah berubah aja.”
      “yaiyalah! Masa nggak di ganti-ganti catnya ntar jadi kelihatan jelek kayak muka lo! Haha” canda ku
     “yee..dasar! udah ah masuk yuk!” ajak Tika
      “eh, mungkin guru-guru yang lain lagi pada ngajar kali ya soalnya sepi banget. Ke ruang BK aja yuk!” ajak ku, ketika melihat suasana sekolah yang sepi kecuali suara-suara guru yang sedang mengajar dari ruang kelas yang ada di lantai 2. SMP ku ini mempunyai 4 tingkat bebentuk leter L. Di lantai 1 atau lantai dasar khusus untuk perpustakaan, TU, Ruang kepsek dan wakil kepsek, UKS, Ruang Bk, Ruang musik, Lab. IPA, kantin, Lab. Komputer, gudang koperasi.
 “yuadah deh. Kita ke ruang BK aja.” Sahut Tika setuju, sambil berjalan menuju ruang BK.
 Sesampainya di ruang BK. Kami langsung mengetuk pintunya dengan pelan. “ya..silahkan masuk!” sahut orang yang ada di dalam dan sepertinya aku dan Tika sangat kenal dengan suara itu. Ketika membuka pintu, kami melihat seorang guru yang sedang duduk manis dengan buku di hadapannya dan kami langsung teriak histeris “Bu Pipiit!”
“ya ampun! Tika, Rani. Ngapain ke sini? Memang nggak sekolah?” katanya kaget. Lalu kamu langsung bersaliman dengannya.
“nggak bu. Kebetulan lagi libur.” Sahutku sambil duduk di kursi panjang yang dulu biasa di persilahkan untuk anak-anak yang sedang mengalami kasus di sekolah.
“kamu berdua satu sekolah lagi nggak?” tanyanya sambil duduk di sebelah kanan ku.
“nggak bu. Kalau aku di  SMAN 16 tapi kalau Rani di SMA Pelita.” Jawab Tika
“kok Rani nggak di SMA Negeri?” Tanya Bu Pipit kepadaku
“nggak tau tuh bu. Ayah aku yang daftarin.” Sahutku dengan mimik muka cemberut
“oh..oiya, gimana karier bulutangkis kamu?” Tanya Bu Pipit lagi, tapi kali ini pertanyaannya membuatku ingin kembail ke masa lalu lagi.
“ya…gitu lah bu!” sahutku getir
 “ayah sama mamanya Rani nggak setuju bu kalau Rani jadi atlet bulutangkis. Nggak ada masa depan katanya bu.” Kata Tika yang


memang sudah tau apa yang akan aku katakana jika aku yang menjawab pertanyaan Bu Pipit.
“oh..gitu. tapi kamu kan berprestasi banget di Bulutangkis, udah pernah event internasional lagi.”Kata Bu Pipit
“ya..saya juga udah bilang bu ke ayah sama mama kalau jadi atlet tuh masa depannya nggak suram. Tapi mereka tetap aja nggak peduli malah sekarang ayah masukin aku ke sekolah yang memang jam belajarnya padat banget supaya aku nggak bisa latihan bulutangkis lagi. Tapi sekarang aku udah ikhlas kok bu, anggap aja Bulutangkis itu Cuma masa lalu aku dan aku jadikan pelajaran sekarang. Hehehe” kataku bijak.
“tapi kamu yakin bisa lupain bulutangkis yang memang udah tujuan hidup kamu?” Tanya Bu Pipit seolah-olah dia tau apa isi hatiku.
“mmm…nggak sih bu. Sampai kapanpun aku tetap suka sama Bulutangkis apalagi teman-teman dan pelatih ku bu.” Sahutku agak gugup “bu boleh saya lihat file yang saya buat waktu itu? Masih ada kan?” pintaku
“oh..iya kebetulan file-file angkatan kemarin masih ibu simpan. Ibu cariin dulu ya file kamu.” Katanya lembut sambil beranjak dari bangku. Tak lama kemudian Bu Pipit kembali lagi dengan file berwarna hijau di tanganya
“ini kan file kamu?” tanyanya sambil menyodorkan file yang sudah agak usang itu ke tanganku
“iya ini file saya bu.” Kataku membenarkan sambil membuka file itu dengan tidak sabar. Tika pun juga mendekatiku.
            Aku pun membuka lembaran pertama yang aku tulis sebuah lirik lagu dari band Cokelat yang berjudul BENDERA. Aku sangat ingat kejadian waktu itu. Pada waktu pelajaran BK Bu Pipit menyuruh anak-anak untuk menuliskan lagu apa saja yang menjadi penyemangat kami. Dan tanpa berpikir panjang aku langsung menuliskan lirik lagu tersebut. Karena bagiku lagu itu adalah lagu yang amat sangat menggambarkan kepribadianku dan juga semangatku untuk mengharumkan negeri ini lewat prestasi bulutangkisku. Dengan air mata yang sedikit mengembang aku meraba tulisan itu dengan sangat lembut. Saat aku menulis lirik lagu ini aku ingat sekali bahwa aku sangat antusias menulisnya sampai-sampai di pinggiran kertasnya aku hias sedikit warna untuk menambah keindahan. Haaa…memang sangat indah waktu itu., helaku. Tika juga tampaknya sangat mengerti perasaanku ketika melihat sebuah lirik lagu ini dia tersenyum kepadaku kemudian merangkul bahuku dengan lembut. Lembaran kedua, di lembaran ini aku melihat sebuah foto atlet Vita Marissa yang sangat aku idolakan. Bagiku Vita Marissa adalah penyemangatku dalam mengejar prestasi di bulutangkis. Di lembaran ini aku menuliskan banyak hal tentangnya. Mulai dari biodatanya, sampai semua prestasi yang pernah dia raih aku catat dalam lembaran ini.
                  Lembaran berikutnya aku melihat semua targetku di tahun 2009. Pada waktu itu aku ingat sekali Bu Pipit menyuruh kami untuk membuat resolusi di awal tahun 2009 itu. Dan aku pun menuliskan beberapa targetku di 2009. Pertama aku menulis bahwa di tahun 2009 ini aku harus bisa masuk ke ajang internasional dan berhasil masuk seleksi Pb. Tangkas. Pb. Yang sangat terkenal dengan jebolan-jebolannya yang kini menjadi atlet dunia yang amat disegani. Target kedua aku tulis bahwa aku ingin lulus ujian dengan nilai yang bagus dan target ketiga aku menuliskannya dengan ukuran yang besar dan berwana merah. Karena target ketiga ku ini adalah aku ingin cita-citaku menjadi atlet bulutangkis tercapai dan bisa mengharumkan nama bangsa ini. Dan tahukah kawan? Ketika melihat tulisan-tulisanku di lembar ini tanpa kusadari aku meneteskan air mataku yang kemudian membasahai lembaran tersebut. Hatiku sangat sedih dan juga rindu akan semua cita-cita yang sudah aku susun sebaik mungkin agar kelak cita-citaku itu tercapai.
                  Tapi apa daya? Hingga hari ini aku tidak dapat melanjutkan semua mimpi-mimpiku itu. Sampai hari ini aku hidup hanya untuk menuruti kata orangtuaku bukan untuk kebahagiaan diriku sendiri. Tika pun langsung memeluk erat tubuhku. Memang hanya Tika yang paling tau tentang hal ini karena hanya dia sahabatku yang selalu ada untukku sampai hari ini. Bu Pipit pun mengelus pundakku dengan sangat lembut seolah-olah ia ingin agar aku bersabar menjalani ini semua. “udah lah Ran, itu semua udah berlalu sekarang lo jalanin aja yang ada di hadapan lo.” Kata Tika bijak, ketika aku sudah lepas dari pelukannya. “nggak tau kenapa Tik, gue nggak akan pernah bisa lupain bulutangkis. Karena Cuma di bulutangkis gue bisa jadi diri gue sendiri.” Sahutku dengan masih terisak pelan.
      “Ran, ibu tau kok perasaan kamu kayak gimana. Pasti nggak enak kalau hal yang kita sukai itu nggak bisa kita jalanin lagi. Tapi ibu harap kamu bisa sabar Ran karena menurut ibu kamu anak yang kuat.” Nasihat ibu Pipit yang penuh dengan jiwa keibuannya.
      “iya bu aku tau. Tapi untuk hal ini aku sama sekali nggak kuat bu. Karena aku merasa sedih dan terpukul banget waktu aku nggak diizinin latihan bulutangkis lagi.” Kataku ketika sudah lepas dari pelukan Tika.
      “yang sabar ya nak..mungkin ini yang terbaik buat kamu. Tuhan pasti akan berikan yang terbaik buat hambanya.” Nasihat Bu Pipit
      “iya..makasih bu” sahutku sambil menyeka air mata
      “ehm…ehm…kayaknya udah sore nih!” Sindir Tika
      “oh iya nih..udah mulai gelap tuh. Kalian pulang aja sana takutnya nanti orangtua kalian nyariin” kata Bu Pipit.
                  Aku dan Tika pun langsung berpamitan dengan Bu Pipit untuk pulang ke rumah. Dan dalam perjalanan Tika selalu saja menghobur dengan celotehannya. Mungkin dia memang tau betul penderitaan yang selama ini aku rasakan dan itu membuatku sangat bersyukur karena dibalik kesediahnku untuk tidak bisa latihan bulutangkis lagi tapi aku masih mempunyai sahabat yang sangat baik seperti Tika.


@By : Rizqy Nur Amalia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar